Parasites (2019)

Baru saja tiba, adikku berseru, “Nonton yuk!”

“Heh, lagi ada apa?”, sahutku sambil menaruh backpack.

“Parasite. Kutraktir.”, katanya.

“Udah ada? Oke. Asik.”

Langsunglah kami meluncur ke CGV malam itu. Ini kali pertama aku nonton film korea niat banget di bioskop pula, haha. Biasanya ditraktir pun entah. Tapi berita soal film Parasite ini menjanjikan pengalaman nonton film korea yang berbeda sih, katanya.

Begitu duduk di dalam bioskop, agak-agak geli gimana gitu. Udah mah gak doyan kekoreaan; artis korea tahunya cuma Hyun Bin; drama yang diinget dan tamat nontonnya cuma Secret Garden; dan jarang banget loh aku ke bioskop buat nonton film. Idealnya nonton film itu memang di settingan tempat seperti bioskop, tapi nontonnya sendirian. Hahaha… Makanya dulu di Bandung aku lebih sering pilih nonton di Braga yang jam tayang hampir tengah malam, sepi biasanya. Tapi sayangnya, yang diputar juga jadi terbatas makanya ya gak bisa dibilang sering juga sih ke bioskopnya.

Nah, Parasite ini, dari awal udah memunculkan kegetiran. Kusuka panning kameranya yang awalnya membidik barang entah apa yang kemudian menjadi jelas, ternyata barang bekas yang dijadikan jemuran. Lalu turun memperlihatkan ruangan berjendela yang begitu rendah. Film ini adalah cerita sekeluarga yang sangat miskin, hingga atap rumah mereka nyaris berada lebih rendah dari jalanan. Sementara daerah tersebut rawan banjir. Kegetiran dalam kemiskinan itu disajikan dalam bentuk komedi. Memang banyak dark jokes bertaburan dalam dialog mereka: ayah, ibu, dan dua anaknya, laki-laki dan perempuan. Membuatku kadang bingung untuk tertawa, kayak tega tapi kok ya lucu, gimana?

Mencari sinyal Wi-fi tetangga yang bocor hingga ke samping kloset.
Sekeluarga mengerjakan pekerjaan melipat karton pizza.

Kesempatan memperbaiki hidup muncul saat ada tawaran mengajar les dari teman si anak lelaki. Murid lesnya anak orang kaya. Tapi begitu masuk rumahnya, dibuat terasa ada yang ganjil dalam keluarga tersebut. Interaksinya tidak tampak natural, suasananya dibuat seperti misterius. Pengurus rumahnya, seorang perempuan paruh baya, nampak sangat kaku dan penuh selidik.

Setelah itu, alur cerita berjalan semakin cepat. Satu-persatu, dengan siasat cerdik dan licik, si anak lelaki memasukkan anggota keluarga ke dalam rumah itu. Sementara ia mengajar les privat anak pertama, adiknya mengajar seni anak kedua, ayahnya menggantikan supir, hingga akhirnya si ibu masuk menggantikan pengurus rumah. Di sini mulai terasa ketegangan-ketegangan terjadi karena mereka berusaha tidak mengenal satu sama lain. Belum lagi pengurus rumah sebelumnya datang pada suatu malam di tengah hujan deras dan membawa mereka semua pada rahasia rumah itu, dan sejak saat itu ketegangan meningkat terus sampai klimaks yang tragis.

Film ini menunjukkan beberapa hal buatku. Sepulang dari bioskop, ada ganjalan yang terbawa, uneasiness, terkait problem kelas, relasi yang terbangun dalam hidup bersama, welas asih pada orang lain, dan amarah yang terpendam. Tertawa dan rasa pahit bercampur begitu saja dengan lincah selama menonton. Ini gambaran ekstrim dari kegagalan hidup bersama yang kemudian menjadikan yang satu parasit bagi yang lain.

Kalau mau dirunut-runut setiap kejadiannya, mengapa ujungnya jadi begini, siapa yang memulai, siapa yang salah? Tidak ketemu ujungnya, karena semuanya membawa sentimen sendiri yang menjadi modal bertahan. Tidak selamanya sesama orang tak punya saling bantu, mereka lebih sering saling sikut karena memang jatah yang tersisa (sisa kerakusan kelas atas) bagi mereka bisa jadi tak cukup untuk semua. Tak selamanya orang kaya baik bisa dicintai karena kadang kedermawanannya tetap disertai keangkuhan kelasnya yang lebih tinggi. Seolah sekeping uang yang mereka beri sudah cukup untuk melucuti harga diri si miskin hingga mereka sering dilupakan sebagai manusia.

Kalaupun dibawa ke dimensi yang lebih luas, persoalan ini bukan semata sikut-sikutan antarindividu. Tapi mereka yang terpaksa berperan sebagai wajah antarkelas dalam sudut pandang Marxist. Dua kelas yang tidak bisa hidup bersama tapi juga tidak bisa hidup tanpa satu sama lain. Satu predator, lainnya menjadi parasit.

Raw emotion yang muncul di puncak konflik yang jelas sangat ekstrim inilah yang membuat kita bergidik ngeri tapi sekaligus seolah paham apa yang dirasakan karakter itu. Dalam kehidupan nyata, pergolakan ekstrim itu mungkin akan sangat jarang ditemukan. Tapi pertanyaan ini patut kita tanyakan pada diri sendiri: apakah secara tidak sadar kitapun sebenarnya telah menjadi parasit bagi orang lain di sekitar kita? Atau malah predatornya?

Sumbangnya Masyarakat Kita dalam Paduan Suara

“Paduan Suara” merupakan satu dari 17 cerpen yang dimuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 1995. Dari segi ide cerita, ia tidak menyajikan sesuatu yang baru. Ia hanyalah sebuah potret dari budaya negeri kita yang tak urung mengundang senyum, kegemasan dan aspek emosi lain yang campur aduk.Paduan Suara mengetengahkan pengalaman Sugeng yang ditawari sebagai koordinator dan pelatih tunggal paduan suara Pemda ‘Swara Budaya’. Dengan tawaran gaji yang cukup besar dan beban kerja yang tidak terlampau berat berdasarkan pengalamannya, tanpa ragu, ia pun menyanggupi tawaran tersebut. Namun, belakangan muncul masalah yang tidak diduganya.

Pada awal cerita, pembaca sudah dikenalkan dengan pokok masalah yang dihadapi Sugeng. Dia menyesali keputusannya menerima pekerjaan itu. Pasalnya, dia harus dipusingkan dengan berbagai tetek bengek yang justru sama sekali tak ada kaitannya dengan dunia kesenian. Sesuatu yang membuatnya merasa lebih baik memilih bertanggung jawab atas sebuah konser besar sekaligus dengan ribuan pemain sekalian ketimbang pekerjaannya sekarang. Hal yang menjengkelkan baginya bermula saat ia menyerahkan daftar calon anggota paduan suara hasil seleksinya.

Humor Feodalisme

Cerpen ini seolah ingin menunjukkan bahwa budaya pengkastaan manusia terlanjur menjadi hal yang lumrah, dan karenanya menuntut pemakluman pada semua orang. Di samping itu feodalisme—yang walaupun sudah karatan—tetap melekat dalam tubuh (sebagian besar) masyarakat ‘kelas atas’. Dalam Paduan Suara, hal ini terasa begitu kental. Bisa kita lihat mulai dari ‘masukan’ Ibu Gubernur yang meminta Sugeng untuk tidak meloloskan beberapa pegawai rendahan, meskipun kemampuan olah vokalnya sangat baik.

“…bukan maksud saya mau membeda-bedakan status,lho,tapi saya berpikir untuk kepentingan dia juga.Maksud saya, setelah seharian bekerja secara fisik,apa dia masih punya sisa tenaga untuk tarik suara?”
“…Artinya suami Umi itu bawahannya-bawahannya-bawahan pak Kun. Kasihan Umi,kan,kalau harus berbincang-bincang dengan Bu Kun coba, mau ngomong apa dia nanti.”

Khusus dari komentar Ibu Gubernur terhadap tokoh Umi,tampak jelas adanya upaya pemisahan lingkup pergaulan ‘antarkelas’. Ya, apalagi kalau bukan berdasarkan status, jabatan, kedudukan, dan hal-hal demikian.

Demikianlah, mulai dari sini pembaca mulai diajak turut merasakan desiran-desiran halus yang cukup mengganggu perasaan disertai kegemasan yang tak jarang membuat ingin berteriak, namun tidak tahu meneriakkan apa dan bagaimana? Toh semua kadang dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Dengan mengatasnamakan budaya timur yang banyak mempertimbangkan hal-hal lain di luar rasionalitas demi kebijakan. Namun terkadang malah membuatnya menjadi tidak rasional, tidak bijak, tidak adil, dan tidak etis.

Hal semacam ini dapat menjadi suatu bukti rendahnya kohesi sosial di tengah masyarakat kita. Yang jelas mendarah dagingnya budaya feodal memang telah melahirkan kesenjangan yang teramat parah. Dalam sejarahnya, feodalisme telah membuat para raja-raja atau bupati jawa zaman dulu memiliki kekuasaan atas tanah serta para petani kecil. Rakyat kecil seolah hanya hidup untuk menyenangkan mereka, tanpa dapat memperoleh hak-haknya yang layak. Bahkan lingkup pergaulan pun dibatasi. Tentu kita pun mengetahui, bahwa dari segi bahasa pun (misalkan bahasa Jawa atau Sunda) ada tingkatan-tingkatannya. Bagaimana berbicara pada bupati tentu berbeda dengan cara bicara pada saisnya. Dengan demikian budaya ini akhirnya melahirkan jilat-menjilat, nepotisme, korupsi, kolusi, atau kebiasaan suap-menyuap yang seolah menjadi penyakit laten bagi masyarakat.

Keengganan masyarakat ‘lapisan atas’ untuk berbaur dan kemudian memberi kesempatan pada rakyat kebanyakan pun telah menyebabkan berbagai konflik di tengah-tengah masyarakat. Jelas,karena ia memicu kecemburuan sosial. Dengan demikian, untuk mengharapkan keadaan yang ‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’ sepertinya sangatlah perlu untuk membina kerekatan sosial di antara berbagai elemen masyarakat. Sebagaimana ajakan Shopie Bessis dalam suatu tulisan menarik berjudul “from social exclusion to social cohesion” [Bessis-1996]. Yaitu ajakan untuk menuju kerekatan sosial diantara elemen bangsa tanpa pandang bulu, dari buruh kasar sampai pejabat tinggi.

Sejauh ini tentu tampak naif memandang feodalisme sebagai sebuah humor, namun justru di situlah letak kelucuannya. Betapa bodohnya manusia yang memandang rendah sesamanya berdasarkan alasan yang lebih sering tidak masuk akal. Kebodohan seperti inilah yang menjadi ironi, karena manusia diakui sebagai makhluk terbaik yang pernah diciptakan. Namun kenyataannya cara manusia memperlakukan sesamanya tidak lebih baik dari cara memperlakukan binatang.

Sedikit bernostalgia, adalah kisah seorang pemimpin Islam yang amat dikenal, Umar bin al-Khattab yang tak segan memanggul sendiri bahan makanan bagi rakyatnya yang kelaparan. Beliau juga terbiasa untuk melepas lelah dengan tiduran di bawah pohon rindang bukan di istana layaknya para penguasa besar. Sehingga tak jarang ada orang yang sama sekali tidak menyadari beliaulah pemimpin yang mereka kagumi. Hal semacam ini terkadang memang lebih nampak sebagai dongeng di tengah dunia nyata kita yang saat ini begitu jauh menjangkau hal-hal ideal. Namun tentu hal itu bukanlah suatu kemustahilan. Sangat mungkin untuk menjadi kenyataan kembali di masa depan.

Bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah

Cerpen ini pun ditutup dengan sebuah ironi yang membuat Sugeng tersedak. Penampilan paduan suara yang sangat tidak berkualitas itu justru mendapat sambutan meriah dari hadirin! Bukan cemoohan. Tapi justru pujian. Di sini saya kembali merasa miris sekaligus ingin terbahak-bahak, juga kasihan, entah pada siapa. Satu lagi potret yang tertangkap dalam cerpen ini adalah kemampuan bangsa kita untuk membohongi diri sendiri, berbasa-basi. Nampak begitu mudah untuk menentang suara sendiri, meredam pendapat pribadi, hanya karena keperluan mempertahankan feodalisme. Bagaimana tidak, ketika penyanyi yang bersuara jelek itu seorang pengamen jalanan, tentu tak segan untuk mencercanya, dan menyuruhnya berhenti menyanyi. Tapi kali ini anak gubernur! Sehingga katanya “…Yah, bagus nggak bagus kita tepuk tangan sajalah. Anak Pak Gubernur yang menyanyi, masa kita teriaki suruh turun.”

Melalui cerpen ini, pengarang menyajikan sesuatu yang sebenarnya sudah dihidangkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk membuat kita menertawakan kebodohan makhluk yang dinamai manusia—yang kita termasuk di dalamnya. Lalu merenungkan semuanya. Hanya saja yang cukup mengganggu adalah karakter Sugeng yang nampaknya terlalu polos, yang belum tahu apa-apa mengenai kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Padahal di awal cerita digambarkan bahwa ia merupakan orang yang sudah lama berkecimpung di bidangnya, bukankah setidaknya, sesekali mungkin ia bersentuhan dengan birokrasi? Atau setidaknya sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia seni, lebih kurang, aspek ‘rasa’-nya akan lebih peka menangkap fakta-fakta menyedihkan di tengah-tengah masyarakat. Tapi, bagaimanapun juga, setidaknya kita dapat menikmati cerpen ini sebagai humor sosial yang cukup menggelitik.

Tamansari, April 2006

Catatan: tambahan info, sejak tahun 1988, ada konvensi baru mengenai tingkatan-tingkatan berbahasa yang ada dalam Basa Sunda . Mulanya digunakan sesuai dengan tingkatan kelas sosial dalam masyarakat, sejak saat itu diubah menjadi pemilahan bahasa halus dan kasar untuk kepentingan tata krama saja.