Analisis Wacana (Teks Pembuka)

Setiap hari teks-teks bertebaran di sekeliling kita. Wacana sebagai kesatuan bahasa hadir dalam berbagai wajahnya. Apa yang dibawa oleh wacana mungkin tidak dengan mudahnya dapat kita tangkap. Dengan membaca teks yang sama, beberapa orang bisa mengambil kesimpulan yang berbeda. Mana yang dianggap benar? Manakah yang sesungguhnya dituju teks? Terkait hal ini, saya merasa perlu menulis tentang analisis wacana. Dalam menyusun tulisan ini, saya menggunakan acuan buku “Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media“ karya Eriyanto.

Sebelum beranjak lebih jauh, definisi tentang wacana itu sendiri (discourse dalam bahasa Inggris) cukup beragam ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Dalam paradigma linguistik, wacana merupakan entitas yang lebih besar dari kalimat. Ia merupakan rangkaian kalimat yang serasi, perpaduan proposisi yang satu dengan yang lainnya. Pemaknaan suatu kalimat tidak terlepas hanya pada kalimat yang bersangkutan, namun juga disertakan kaitannya dengan kalimat yang lain.

Sementara itu, dalam ranah sosiologi, wacana merujuk pada hubungan antara konteks sosial dengan penggunaan bahasa. Sedangkan dalam politik, wacana terkait dengan politik bahasa. Karena bahasa merupakan aspek utama dalam penggambaran suatu konsep dan ideologi yang terkandung di dalamnya, analisis wacana dalam lingkup politik menitik-beratkan pada aspek ini.

Dari berbagai penggambaran yang berbeda terkait sudut pandang yang berlainan tersebut, dapat ditarik garis merah. Yakni analisis wacana berkaitan erat dengan analisis praktik penggunaan bahasa.

Beberapa Pandangan Terkait Bahasa dalam Analisis Wacana

Setidaknya ada tiga kelompok besar yang memandang fungsi bahasa dalam analisis wacana. Antara lain: Analisis wacana positivisme-empiris, analisis wacana konstruktivisme, dan analisis wacana kritis. Perbedaan antara ketiga aliran ini antara lain dijelaskan sebagai berikut:

Yang pertama, positivisme-empiris menekankan bahasa sebagai simbol yang membawa makna-makna yang terlepas dari subjek pemakainya. Analisis ini tidak mengindahkan penyampai dan latar belakangnya. Wacana dipandang sebagai entitas yang dianalisis bagian perbagiannya terkait kaidah-kaidah sintaktik dan semantik yang digunakannya. Keabsahan wacana tersebut ditentukan oleh unsur-unsur sintaktik dan semantiknya tersebut. Analisis bertumpu pada pengukuran penggunaan aturan gramatika yang sesuai, tata kalimat, dan aturan-aturan berbahasa yang dimengerti bersama.

Berikutnya, aliran konstruktivisme, menolak pemisahan antara subjek dan objek dalam berbahasa. Aliran ini justru memandang subjek sebagai faktor utama dari makna-makna yang dikonstruksi menggunakan bahasa. Antara wacana dengan konteks sosial, subjek berperan penting di dalamnya. Artinya, pengungkapan wacana oleh suatu objek merupakan ungkapan diri dari sang penutur. Berbasis penalaran ini, maka analisis wacana dilakukan untuk mengungkap maksud-maksud yang hendak disampaikan oleh penutur atau produsen wacana. Maksud yang eksplisit maupun yang tersembunyi. Upaya efektif yang dilakukan terkait maksud ini adalah dengan menempatkan diri pada posisi penutur dan mencoba menafsirkan maksudnya dengan kerangka pemaknaan yang dimiliki oleh penutur tersebut.

Yang terakhir, analisis wacana kritis, memandang wacana dalam konteks yang lebih rumit dan kompleks. Wacana bukan semata-mata entitas linguistik atau produksi makna yang berinteraksi dengan subjeknya. Aliran ini memandang bahwa suatu subjek sekalipun terkadang tidak bisa merdeka untuk mengungkapkan sesuatu yang murni berasal dari dirinya.

Suatu subjek yang merupakan bagian dari struktur sosial yang ada, tak bisa melepaskan diri dari konvensi-konvensi, aturan umum dan kuasa sosial yang bekerja padanya. Dengan kata lain, subjek tidaklah netral. Bahasa bukan sesuatu medium semata yang dengan polosnya digunakan penutur, tapi merupakan representasi dari perspektif. Jadi analisis tidak dipusatkan pada konstruksi bahasa secara gramatikal, terkait kaidah-kaidah semantik dan sintaktik semata. Analisis menyentuh proses produksi dan reproduksi makna dalam wacana, batas-batas perspektif yang digunakan, dialektika antara suatu peristiwa, dengan situasi, institusi dan konteks sosial yang melingkupinya, termasuk praktik kekuasaan.

Memahami Puisi Secara Semiotik

Bagaimana kita memaknai puisi? Dari sudut pandang semiotik sebagaimana yang dirumuskan oleh Riffaterre, hal ini setidaknya dilakukan dalam dua tahapan. Yang pertama adalah pembacaan heuristik dan dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau disebut juga retroaktif.

Continue reading “Memahami Puisi Secara Semiotik”