Alina

“Kok dingin sekali, Kakak tak suka anak-anak ya?“

Ia tak menjawab, hanya mengerling sembari tersenyum tipis, ”Ayo masuk, udaranya semakin dingin. Mereka juga sudah harus pulang, kan.”

“Kami permisi dulu Bu, terima kasih atas jamuannya ya…“

***

Semakin malam, dan semakin dingin saja. Pintu-pintu sudah kukunci tapi aku memutuskan tidak segera tidur.  Kesunyian macam ini akan selalu kurindukan. Bila aku mendapatkannya kala terjaga kenapa aku harus lelap dalam mimpi-mimpiku yang selalu bising?

Kuambil jaket lalu kubuka pintu menuju balkon. Duduk berselonjor di sini begitu nikmat. Dingin memang, tapi titik-titik gemerlap yang muncul dalam pekat itu dalam sekejap telah memikatku, membuatku lupa temperatur. Sudah sejak lama aku gemar menatap langit. Waktu kecil aku berfantasi ada dunia yang indah di atas sana. Yang cahayanya ketika malam bocor-bocor ke bumi kami. Membuatku penasaran ketika melihat ibu berkebun dan menggali tanah, aku jadi penasaran apakah ada dunia lain di bawah sana?

“Eh, ada kamu, sedang apa?“

Aku terperanjat, ternyata Alin hendak menutup pintu yang terbuka. Tapi urung dilakukannya ketika melihatku. Ia malah duduk di sampingku kini.

“Tidak apa-apa Kak…“

“Alin saja. Kau suka stargazing, ya? Seno juga. Aku sih tak terlalu. Kalo malam lebih enak tidur.” Ia tersenyum tipis.

“Aku tak apa-apa di sini, hanya ingin keluar, dan tiba-tiba ingin memandangi langit sebentar. Pintunya ditutup saja. Kak Alin tidurlah duluan. Lagipula di sini dingin“, sergahku.

“ Gak apa-apa, sekali-kali nampaknya menyenangkan juga.“

Ia kemudian kelihatan sangat menikmati langit malam itu dan tak berkata-kata lagi. Aku tak berani mengganggunya dan kembali larut dalam lamunanku.

***

“Hari ini kita harus mengunjungi  berapa lokasi lagi, Deb?“

“Umm, tinggal dua yang terakhir. Aku sudah survey dua hari lalu, mestinya bisa selesai sehari, medannya tak terlalu sulit. Jadi, aku…

“Aku saja yang pergi.“

“Eh, tunggu, aku belum siap-siap, Kak…

“Sudah kubilang, Alin saja“, tukasnya. “Tak apa aku bisa kerjakan sendiri. Kamu coba mulai kerjakan laporan awal nya. Oh, ya, nanti malam aku menginap di panti. Langsung kunci pintu saja kalau sudah gelap ya, Daag…“

Ia pergi begitu saja tanpa memberiku kesempatan bicara lagi.

***

“Sudahlah, jangan menangis lagi. Kuharap kakakku bahagia di sana. Kuharap ia bisa berkumpul lagi dengan keluarga kecilnya.“

“Apa maksudmu?“, kuseka air mataku.

“Theo dan Bang Af, mereka tewas dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Alin tak pernah menunjukkan dukanya, tapi kehilangan itu benar-benar telah mengubahnya. Ia seperti ingin menghapus semuanya, dan kami pun enggan mengusiknya. Maka aku tak pernah cerita. Aku senang mendengar kalian ada proyek bersama. Kupikir  kalian bisa banyak menghabiskan waktu. Entah bagaimana mungkin ia akan bercerita.“

“Kak Alin hanya bicara sedikit sekali. Satu malam, pernah kami duduk di balkon. Tapi kami hanya memandangi langit dalam sunyi masing-masing.“

“Dulu Alin tak pernah begitu. Tapi ia selalu kesulitan tidur sejak peristiwa itu. Kami cemas, ia semakin gila kerja di siang hari namun kurang istirahat malam. Tapi bila itu sedikit melegakannya…, ya, kuharap begitu. Kau bilang dia sempat pamit akan ke panti?“, Seno menoleh.

Aku mengangguk.

Sembari menghela napas, ia membuang pandangannya ke tanah,“ Kalau saja kutahu, itu sebuah pertanda. Alin sangat suka anak-anak. Tapi belakangan, suara dan tingkah anak-anak hanya mengingatkan lukanya kehilangan Theo. Ia seperti ingin membunuh sosok ibu dalam dirinya juga. Kalau kau pernah melihatnya dulu… Ia sangat berbeda.“, matanya menerawang. “Sudahlah, mulai hujan, udara semakin dingin, kita harus segera pulang yang lain sudah pergi.“

Aku tak tahu harus bilang apa, rasanya kosong. Aku melangkah menjauhi pekuburan, tapi tiba-tiba sosok Alin sedikit berubah dalam kenanganku. Ia kini tak begitu asing.

***